ETIKA DALAM BISNIS
Carroll
dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga
tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan
etika dalam bisnisnya.
1.
Immoral Manajemen
Immoral
manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan
prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada
umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik
dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas
bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas
untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau
kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang
disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan
bisnisnya.
2.
Amoral Manajemen
Tingkatan kedua
dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen.
Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini
sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis
lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja
berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer
yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat
sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain.
Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah
aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini
mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan
dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal
manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku,
dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe
manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya
memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara
sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis
mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe
ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi
kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar
dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Kalau
suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis
amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka”
(kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan
sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun
ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini
membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
3. Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya
Contoh:
4. Agama, Filosofi, Budaya dan Hukum
a. Agama
Menurut Ensiklopedi Indonesia I dalam Agus (2005: 50), istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta: a
berarti tidak, gam berarti pergi atau berjalan dan a yang berarti bersifat atau
keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari,
kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai
hidup kekal. Menurut Sidi Gazalba, Agama adalah
kecenderungan rohani manusia yang berhubungan dengan alam semesta, nilai yang
meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat dari semuanya.
Contoh:
b. Filosofi
Filsafat adalah studi tentang
seluruh fenomena kehidupan,
dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep
mendasar. Filsafat tidak di dalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen, dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu.
Contoh:
c. Budaya
Budaya, dalam buku “Antropologi”
(2007:10) Ilmu Antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dimiliki manusia dengan belajar. Kebudayaan berasal dari kata Budhayah yaitu
bentuk jamak dari Budhi yang berarti Budi dan Akal , sehingga kebudayaan
diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal. Menurut Selo Soemardjan
dan Soelaeman Seomardi mengatakan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya, rasa
dan cipta manusia. Menurut Koentjatningrat kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem gagasa, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar.
Contoh:
d. Hukum
Contoh:
6. Strategi dan Performasi
a. Strategi
Contoh:
8. Budaya Organisasi
Contoh:
d. Hukum
Hukum dalan Theo (2007:40) Bila kita menghadap bentuk-bentuk
hukum yang aktual pada zaman modern ini, kita sampai pada keyakinan bahwa hukum
yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan
oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam
kenyataan bahwa peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara,
membutuhkan peneguhan dari pihak negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis.
Juga hukum adat hanya dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila
disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Namun dengan membatasi makna
hukum yang hakiki pada undang-undang negara, pengertian dasar yang abstrak tentang
hukum tidak hilang. Peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan orang-orang
dalam masyarakat, baik masyarakat besar, seperti negara, maupun masyarakat
kecil, seperti perkumpulan dan lembaga swasta, sewajarnya kedua-keduanya
disebut hukum.
Contoh:
5. Leadership
Leadership dalam Farid (2006:8) Sebagai
seorang pemimpin, ia seharusnya menempatkan kepemimpinan (leadership) di depan,
baru kemudian pengelolaan. Layaknya seorang nahkoda, arahkan dulu ke mana kapal
itu akan berlabuh, kemudian berikan motivasi dan bina para kelasi, setelah itu
baru lakukan pendelegasian. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memnetukan ke
mana hidup akan kita arahkan, apa-apa saja yang ingin kita lakukan dalam hidup
ini, dan jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapainya.
Contoh:
6. Strategi dan Performasi
a. Strategi
Hamel dan Prahalad dalam Husein (2008:31)
mendefinisikan bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental
(senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut
pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan
demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang terjadi dan bukan
dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan
perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti. Perusahaan perlu mencari
kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan”
Contoh:
b. Perfomasi
Perfomasi dalam Pandi (2016:68)
adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau
kegiatan selama periode waktu tertentu.
Contoh:
7. Karakter Individu
Karakteristik individu dalam John (2006:16)
karena kinerja organisasi bergantung pada kinerja individu, manajer harus
memiliki lebih dari sekedar pengetahuan mengenai determinan dari kinerja
individu. Psikologi sosial dan psikologi banyak memberikan kontribusi pada
pengetahuan yang relevan mengenai hubungan antara sikap, persepsi, emosi,
kepribadian, nilai, dan kinerja individu. Manajer tidak dapat mengabaikan
kebutuhan untuk memperoleh dan menindaklanjuti pengetahuan mengenai
karakteristik individu, baik tentang bawahannya maupun tentang dirinya sendiri.
Contoh:
8. Budaya Organisasi
Budaya organisasi dalam Djokosantoso (2006:15) adalah sistem nilai-nilai
yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta
dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan
dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan.
Contoh:
REFRENSI:
Disertasi Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM, MBA, Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya
Religiositas,Agama dan Spiritualitas
Agus M. Hardjana, 2005, Religiositas, Agama & Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya
Tedi Sutardi, 2007, Antropologi:
Mengungkap Keragaman Budaya, Bandung: PT Setia Purna Inves
Theo Huijbers, 2007, Filsafat
Hukum, Yogyakarta: Kanisius
Farid Poniman, Indra Nugroho, Jamil
Azzaini, 2006, Kubik Leadership, Jakarta: Hikmah
Strategi Manajemen
Strategi Manajemen
Husein Umar, 2008, Strategic
Managemen in Action, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Pandi Afandi, 2016, Concept & Indicator, Yogyakarta:
Deepublish
Djokosantoso Moeljono, 2006, Budaya Organisasi dalam Tantangan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar