Minggu, 30 April 2017

Etika Bisnis II

ETIKA DALAM BISNIS

Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.

1. Immoral Manajemen

Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.

Contoh:






2. Amoral Manajemen 

Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.

Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.

contoh:





3. Moral Manajemen

Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya

Contoh:



4. Agama, Filosofi, Budaya dan Hukum

a. Agama

Menurut Ensiklopedi Indonesia I dalam Agus (2005: 50), istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta: a berarti tidak, gam berarti pergi atau berjalan dan a yang berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal. Menurut Sidi Gazalba, Agama adalah kecenderungan rohani manusia yang berhubungan dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat dari semuanya.

Contoh:







b. Filosofi
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak di dalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen, dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.

Contoh:



c. Budaya
Budaya, dalam buku “Antropologi” (2007:10) Ilmu Antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar. Kebudayaan berasal dari kata Budhayah yaitu bentuk jamak dari Budhi yang berarti Budi dan Akal , sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Seomardi mengatakan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cipta manusia. Menurut Koentjatningrat kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasa, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar.

Contoh:





d. Hukum

Hukum dalan Theo (2007:40) Bila kita menghadap bentuk-bentuk hukum yang aktual pada zaman modern ini, kita sampai pada keyakinan bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, membutuhkan peneguhan dari pihak negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat hanya dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Namun dengan membatasi makna hukum yang hakiki pada undang-undang negara, pengertian dasar yang abstrak tentang hukum tidak hilang. Peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan orang-orang dalam masyarakat, baik masyarakat besar, seperti negara, maupun masyarakat kecil, seperti perkumpulan dan lembaga swasta, sewajarnya kedua-keduanya disebut hukum. 

Contoh:



5. Leadership
Leadership dalam Farid (2006:8) Sebagai seorang pemimpin, ia seharusnya menempatkan kepemimpinan (leadership) di depan, baru kemudian pengelolaan. Layaknya seorang nahkoda, arahkan dulu ke mana kapal itu akan berlabuh, kemudian berikan motivasi dan bina para kelasi, setelah itu baru lakukan pendelegasian. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memnetukan ke mana hidup akan kita arahkan, apa-apa saja yang ingin kita lakukan dalam hidup ini, dan jalan mana yang harus kita tempuh untuk mencapainya. 

Contoh:






6. Strategi dan Performasi

a. Strategi 
Hamel dan Prahalad dalam Husein (2008:31) mendefinisikan bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti. Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan”

Contoh:




b. Perfomasi
Perfomasi dalam Pandi (2016:68) adalah catatan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu. 

Contoh:





7. Karakter Individu
Karakteristik individu dalam John (2006:16) karena kinerja organisasi bergantung pada kinerja individu, manajer harus memiliki lebih dari sekedar pengetahuan mengenai determinan dari kinerja individu. Psikologi sosial dan psikologi banyak memberikan kontribusi pada pengetahuan yang relevan mengenai hubungan antara sikap, persepsi, emosi, kepribadian, nilai, dan kinerja individu. Manajer tidak dapat mengabaikan kebutuhan untuk memperoleh dan menindaklanjuti pengetahuan mengenai karakteristik individu, baik tentang bawahannya maupun tentang dirinya sendiri.

Contoh:



8. Budaya Organisasi
Budaya organisasi dalam Djokosantoso (2006:15) adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

Contoh:



REFRENSI:

Disertasi Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM, MBA, Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang  Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya
Religiositas,Agama dan Spiritualitas
Agus M. Hardjana, 2005, Religiositas, Agama & Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya
Tedi Sutardi, 2007, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, Bandung: PT Setia Purna Inves
Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius
Farid Poniman, Indra Nugroho, Jamil Azzaini, 2006, Kubik Leadership, Jakarta: Hikmah
Strategi Manajemen
Husein Umar, 2008, Strategic Managemen in Action, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Pandi Afandi, 2016,  Concept & Indicator, Yogyakarta: Deepublish
Djokosantoso Moeljono, 2006, Budaya Organisasi dalam Tantangan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar